Jalan perjuangan
Lama ia terdiam di depan sebuah masjid megah berhias
menara yang menyentuh permukaan langit. Warna keemasan bercampur biru muda
memberikan visual glamour nan damai
pada dinding masjid itu. Orang-orang buru-buru masuk ke dalam. Suara adzan
telah berkumandang, menunjukkan shalat ashar
sebentar lagi ditunaikan. Ia masih
termenung, entah apa yang menahan langkahnya untuk ikut masuk ke rumah Tuhan
itu. Hingga seseorang menghampirinya dan menepuk pundaknya.
“sebentar
lagi shalat, ayo masuk”.
Orang
itu berpakaian gamis ala orang arab
pada umumnya, janggut panjang dan kopiah menjadi hal yang menonjol pada orang
itu. Ali agak tersentak sebelum ia menoleh kearah suara itu.
“ahh,
iya “. ali kemudian mempersilahkan orang itu duluan.
Orang
itu hanya tersenyum, berlalu meninggalkan ali. Sepersekian detik ali
menganalisa orang itu, kalau saja ia mengenalnya. Tapi , tak ada tanda yang
membuat memorinya mengingat sesuatu.
Seiring
berlalunya orang itu, ali melanjutkan langkahnya menuju tempat berwudhu. Tangan, wajah dan kaki telah
dibasahinya. Dengungan adzan yang sejak tadi bersahutan telah berhenti.
Orang-orang semakin mempercepat langkahnya menuju tempat peribadatan. Ali
lagi-lagi termangu di depan cermin yang berada di ruang wudhu. Tetesan air mengalir
dari wajahnya, butiran air itu kemudian
jatuh ke lantai. Diperhatikannya wajah dan rambut gondrongnya. Bercak hitam di
pelipis bawah matanya menandakan ia keseringan menikmati malam dengan tetap
terjaga. Pipi tirus makin menunjukkan dirinya begitu kurus akibat aktivitas
kesehariannya yang begitu padat.
Sebagai seorang aktivis dan organisatoris
dikampus, ali melewatkan Hari-harinya dengan berdialektika, konsolidasi di
berbagai lembaga hingga menulis artikel di surat kabar. Kegelisahannya terhadap
tatanan social yang selalu berujung pada penindasan terhadap kaum yang lemah,
isu-isu politik yang membanjiri media, bahkan intimidasi terhadap mahasiswa
telah menggerakkan hatinya untuk terjun berjuang dalam aksi-aksi solidaritas.
Tak ada waktu bagi dirinya untuk berdiam diri karena panggilan jiwanya tak
mengizinkanya untuk tinggal bermalas-malasan di kost. Pengetahuan di kelas tak
memberinya kepuasan hingga ia memilih jalan perjuangan.
“hidup adalah perjuangan”,begitulah prinsipnya.
Setelah sekian menit mematung, ia melangkah untuk
bergabung bersama jamaah lainnya untuk menunaikan shalat. Di ambilnya baris
terdepan dan setelah empat rakaat ia memberikan salam. Hatinya merasa tentram
setelah shalat. Beban pikirannya sedikit berkurang. Nafasnya sangat teratur dan
wajahnya juga bersinar.
Ia
tak langsung beranjak karena akan ada ceramah dari seorang ustad. Jamaah yang
lain juga tak ada yang beranjak. Sepertinya semua menunggu untuk mendengarkan
siraman rohani. Salah seorang pengurus masjid berdiri di depan jamaah, lalu
menyampaikan bahwa hari ini ceramah rutin sabtu sore akan dibawakan oleh ustad
jeffry yang namanya sudah dikenal seantero negeri.
Setelah
dipersilahkan, seseorang berpakaian putih gamis
berdiri mengambil alih perhatian
jamaah. Ali yang tadinya menunduk, mencoba mengarahkan pandangannya kearah
ustad itu. Sekilas ia merasa pernah bertemu dan setelah lama berfikir, ia ingat
orang itu yang menepis pundaknya ketika di depan masjid.
“ternyata ia orang terkenal”.
Setelah memberikan salam kepada jamaah, ustad jeffry
memulai ceramahnya. Kali ini temanya “kebahagiaan
di akhirat”, tema yang umum dibawakan pada setiap ceramah.
“wahai orang beriman, perbanyaklah amal
ibadah kalian agar surga menjadi tempat terakhir dan janji Tuhan adalah nyata”.
Ali
mencoba memaknai setiap kata yang dikeluarkan ustad jeffry tentang amal dan
surga. ia selalu tergelitik tentang dua kata ini. Bukannya ia tak mempercayai
firman Tuhan, tetapi lebih kepada perilaku orang di sekitarnya yang
mengimpretasikan kata ini secara terpisah dengan aktivitas duniawi. Ia melihat
orang-orang sangat rajin melaksanakan shalat lima waktu, bersedekah dan
berpuasa. Tetapi ketika terjadi permasalahan social seperti penggusuran
rumah-rumah penduduk di daerah pandang raya, hanya sedikit saja yang tersentuh
hatinya untuk mengulurkan bantuan kemanusiaan.
“apakah kebaikan hanya sebatas amal ibadah
saja ? ”, gumamnya dalam hati.
Ali
memang terbiasa mengikuti aksi solidaritas membantu masyarakat yang mengalami
sengketa dengan pemilik modal dan penguasa. Masyarakat kecil selalu menjadi
korban keserakahan kelompok elite adan para kapitalis. Masyarakat kecil yang
umumnya berpendidikan rendah, selalu dibodohi oleh mereka yang merasa cerdas
dan punya kuasa. Jika tak ada kelompok mahasiswa yang peduli dan LSM yang pro
rakyat pastilah penguasa gabungan pemodal dapat berbuat sesukanya. Tak ada lagi
humanism, yang tersisa hanyalah nafsu
menindas. Tak ada bedanya dengan imprealisme
dan kolonialisme.
Begitu
juga mengenai surga. ali percaya semua hal baik yang diperbuat di dunia akan
dibalas setimpal baik itu bentuk surga maupun pengampunan. Tapi ada yang aneh
dengan orang-orang yang sibuk beribadah di dalam rumah Tuhan, siang dan malam.
Tapi mengabaikan tangisan lapar anak-anak jalanan yang banyak bergelimpangan di
sudut lampu merah.
“seribu rupiah tak akan cukup membuatmu masuk
surga”, begitulah perasaan ali
ketika melihat para pengendara memberi uang kepada anak-anak jalanan.
Ali
bersama teman-temannya selalu memberikan penyuluhan pendidikan kepada anak-anak
jalanan. Membaca, menulis dan berhitung selalu mewarnai sekolah-sekolah beton
yang didirikan sekumpulan mahasiswa yang prihatin terhadap pendidikan anak
jalanan. Walau tempatnya sederhana, dibawah kolong jembatan layang yang
terkesan tak layak tapi anak-anak jalanan selalu semangat mengikuti pelajaran.
Mereka begitu semangat dalam mengecap pendidikan. Rasa lapar dan dahaga
terkadang tak dihiraukannya. Tak ada yang peduli pada nasib anak-anak ini, para
pengendara merasa jika uang yang diberikan telah menyelesaikan pergulatan hidup
anak jalanan ini. Tapi itu saja belum cukup karena hidup mereka masih panjang
dan mereka adalah masa depan bangsa. Lewat pendidikan, ali dan kumpulannya
percaya akan adanya perubahan pada nasib anak-anak jalanan yang disia-siakan.
Ustad
jeffry melanjutkan ceramahnya. Kali ini ia menyinggung persatuan umat islam
melalui khilafah. System pemerintahan
islam yang berakhir pada dinasti ottoman di turki ini banyak disiarkan oleh
ormas-ormas islam di berbagai kota.
Lagi-lagi
ali mempertanyakan hal ini dalam batinnya. Ingin rasanya ia memberikan
interupsi, seperti dalam rapat-rapat paripurna. Tapi ia sadar ini ceramah bukan
rapat. Segala pertanyaan dan sanggahan tak dibolehkan. Mendengar dan
merenungkannya adalah esensi ceramah.
Tapi
batinnya tak bisa berterima. Dadanya terasa panas dan berdegup kencang.
Tangannya gemetaran dengan mengepal tinjunya di lantai. Otaknya seperti bom
waktu yang siap meledak. Hampir saja lidahnya bergerak membentuk kata. Ia
menahan dan menahan.
Ali
memutuskan untuk beranjak sembari menyambar tas ransel yang ada di depannya,
ketika ceramah masih berlangsung. Ia melangkahkan kaki, melewati jamaah lain. Terus berjalan, tak memperhatikan yang lain
selain pintu masjid. Semua mata berbalik ke arahnya, memandanginya dengan sinis.
Tapi ia tak peduli, ia terus melangkah tanpa henti.
Tak
sadar, mentari tinggal secuil di ufuk barat. Sebentar lagi adzan magrib
berkumandang.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar