Sabtu, 29 November 2014

Xcerpen jalan perjuangan




Jalan perjuangan
Lama ia terdiam di depan sebuah masjid megah berhias menara yang menyentuh permukaan langit. Warna keemasan bercampur biru muda memberikan visual glamour nan damai pada dinding masjid itu. Orang-orang buru-buru masuk ke dalam. Suara adzan telah berkumandang, menunjukkan shalat ashar  sebentar lagi ditunaikan. Ia masih termenung, entah apa yang menahan langkahnya untuk ikut masuk ke rumah Tuhan itu. Hingga seseorang menghampirinya dan menepuk pundaknya.
“sebentar lagi shalat, ayo masuk”.
Orang itu berpakaian gamis ala orang arab pada umumnya, janggut panjang dan kopiah menjadi hal yang menonjol pada orang itu. Ali agak tersentak sebelum ia menoleh kearah suara itu.
“ahh, iya “. ali kemudian mempersilahkan orang itu duluan.
Orang itu hanya tersenyum, berlalu meninggalkan ali. Sepersekian detik ali menganalisa orang itu, kalau saja ia mengenalnya. Tapi , tak ada tanda yang membuat memorinya mengingat sesuatu.
Seiring berlalunya orang itu, ali melanjutkan langkahnya menuju  tempat berwudhu. Tangan, wajah dan kaki telah dibasahinya. Dengungan adzan yang sejak tadi bersahutan telah berhenti. Orang-orang semakin mempercepat langkahnya menuju tempat peribadatan. Ali lagi-lagi termangu di depan cermin yang berada di ruang wudhu. Tetesan air mengalir dari wajahnya, butiran air  itu kemudian jatuh ke lantai. Diperhatikannya wajah dan rambut gondrongnya. Bercak hitam di pelipis bawah matanya menandakan ia keseringan menikmati malam dengan tetap terjaga. Pipi tirus makin menunjukkan dirinya begitu kurus akibat aktivitas kesehariannya yang begitu padat.
 Sebagai seorang aktivis dan organisatoris dikampus, ali melewatkan Hari-harinya dengan berdialektika, konsolidasi di berbagai lembaga hingga menulis artikel di surat kabar. Kegelisahannya terhadap tatanan social yang selalu berujung pada penindasan terhadap kaum yang lemah, isu-isu politik yang membanjiri media, bahkan intimidasi terhadap mahasiswa telah menggerakkan hatinya untuk terjun berjuang dalam aksi-aksi solidaritas. Tak ada waktu bagi dirinya untuk berdiam diri karena panggilan jiwanya tak mengizinkanya untuk tinggal bermalas-malasan di kost. Pengetahuan di kelas tak memberinya kepuasan hingga ia memilih jalan perjuangan.
“hidup adalah perjuangan”,begitulah prinsipnya.
Setelah sekian menit mematung, ia melangkah untuk bergabung bersama jamaah lainnya untuk menunaikan shalat. Di ambilnya baris terdepan dan setelah empat rakaat ia memberikan salam. Hatinya merasa tentram setelah shalat. Beban pikirannya sedikit berkurang. Nafasnya sangat teratur dan wajahnya juga bersinar.
Ia tak langsung beranjak karena akan ada ceramah dari seorang ustad. Jamaah yang lain juga tak ada yang beranjak. Sepertinya semua menunggu untuk mendengarkan siraman rohani. Salah seorang pengurus masjid berdiri di depan jamaah, lalu menyampaikan bahwa hari ini ceramah rutin sabtu sore akan dibawakan oleh ustad jeffry yang namanya sudah dikenal seantero negeri.
Setelah dipersilahkan, seseorang berpakaian putih gamis  berdiri mengambil alih perhatian jamaah. Ali yang tadinya menunduk, mencoba mengarahkan pandangannya kearah ustad itu. Sekilas ia merasa pernah bertemu dan setelah lama berfikir, ia ingat orang itu yang menepis pundaknya ketika di depan masjid.
“ternyata ia orang terkenal”.
 Setelah memberikan salam kepada jamaah, ustad jeffry memulai ceramahnya. Kali ini temanya “kebahagiaan di akhirat”, tema yang umum dibawakan pada setiap ceramah.
wahai orang beriman, perbanyaklah amal ibadah kalian agar surga menjadi tempat terakhir dan janji Tuhan adalah nyata”.
Ali mencoba memaknai setiap kata yang dikeluarkan ustad jeffry tentang amal dan surga. ia selalu tergelitik tentang dua kata ini. Bukannya ia tak mempercayai firman Tuhan, tetapi lebih kepada perilaku orang di sekitarnya yang mengimpretasikan kata ini secara terpisah dengan aktivitas duniawi. Ia melihat orang-orang sangat rajin melaksanakan shalat lima waktu, bersedekah dan berpuasa. Tetapi ketika terjadi permasalahan social seperti penggusuran rumah-rumah penduduk di daerah pandang raya, hanya sedikit saja yang tersentuh hatinya untuk mengulurkan bantuan kemanusiaan.
apakah kebaikan hanya sebatas amal ibadah saja ? ”, gumamnya dalam hati.
Ali memang terbiasa mengikuti aksi solidaritas membantu masyarakat yang mengalami sengketa dengan pemilik modal dan penguasa. Masyarakat kecil selalu menjadi korban keserakahan kelompok elite adan para kapitalis. Masyarakat kecil yang umumnya berpendidikan rendah, selalu dibodohi oleh mereka yang merasa cerdas dan punya kuasa. Jika tak ada kelompok mahasiswa yang peduli dan LSM yang pro rakyat pastilah penguasa gabungan pemodal dapat berbuat sesukanya. Tak ada lagi humanism, yang tersisa hanyalah nafsu menindas. Tak ada bedanya dengan imprealisme  dan kolonialisme.
Begitu juga mengenai surga. ali percaya semua hal baik yang diperbuat di dunia akan dibalas setimpal baik itu bentuk surga maupun pengampunan. Tapi ada yang aneh dengan orang-orang yang sibuk beribadah di dalam rumah Tuhan, siang dan malam. Tapi mengabaikan tangisan lapar anak-anak jalanan yang banyak bergelimpangan di sudut lampu merah.
“seribu rupiah tak akan cukup membuatmu masuk surga”, begitulah perasaan ali ketika melihat para pengendara memberi uang kepada anak-anak jalanan.
Ali bersama teman-temannya selalu memberikan penyuluhan pendidikan kepada anak-anak jalanan. Membaca, menulis dan berhitung selalu mewarnai sekolah-sekolah beton yang didirikan sekumpulan mahasiswa yang prihatin terhadap pendidikan anak jalanan. Walau tempatnya sederhana, dibawah kolong jembatan layang yang terkesan tak layak tapi anak-anak jalanan selalu semangat mengikuti pelajaran. Mereka begitu semangat dalam mengecap pendidikan. Rasa lapar dan dahaga terkadang tak dihiraukannya. Tak ada yang peduli pada nasib anak-anak ini, para pengendara merasa jika uang yang diberikan telah menyelesaikan pergulatan hidup anak jalanan ini. Tapi itu saja belum cukup karena hidup mereka masih panjang dan mereka adalah masa depan bangsa. Lewat pendidikan, ali dan kumpulannya percaya akan adanya perubahan pada nasib anak-anak jalanan yang disia-siakan.
Ustad jeffry melanjutkan ceramahnya. Kali ini ia menyinggung persatuan umat islam melalui khilafah. System pemerintahan islam yang berakhir pada dinasti ottoman di turki ini banyak disiarkan oleh ormas-ormas islam di berbagai kota.
Lagi-lagi ali mempertanyakan hal ini dalam batinnya. Ingin rasanya ia memberikan interupsi, seperti dalam rapat-rapat paripurna. Tapi ia sadar ini ceramah bukan rapat. Segala pertanyaan dan sanggahan tak dibolehkan. Mendengar dan merenungkannya adalah esensi ceramah.
Tapi batinnya tak bisa berterima. Dadanya terasa panas dan berdegup kencang. Tangannya gemetaran dengan mengepal tinjunya di lantai. Otaknya seperti bom waktu yang siap meledak. Hampir saja lidahnya bergerak membentuk kata. Ia menahan dan menahan.
Ali memutuskan untuk beranjak sembari menyambar tas ransel yang ada di depannya, ketika ceramah masih berlangsung. Ia melangkahkan kaki, melewati jamaah lain.  Terus berjalan, tak memperhatikan yang lain selain pintu masjid. Semua mata berbalik ke arahnya, memandanginya dengan sinis. Tapi ia tak peduli, ia terus melangkah tanpa henti.
Tak sadar, mentari tinggal secuil di ufuk barat. Sebentar lagi adzan magrib berkumandang.


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar