Orang baru
Sudah dua
minggu ini para pedagang pakaian bekas di pasar mandai diresahkan oleh ulah
salah seorang pendatang baru. Bagaimana tidak, jadwal berjualan yang sesuai
peraturan pengelola itu hanya sampai pukul tiga sore, dilanggar dengan sadar
oleh ibu murni si ‘orang baru’ ini, begitulah mereka menyebutnya. ‘orang baru’
ini terkadang masih menggelar dagangannya hingga matahari di jemput sang malam.
Hal ini kemudian menjadi pergunjingan ibu-ibu sesama pedagang.
“eh, bu teta.
Sudah dengar nda kalau si ‘orang baru’ itu masih jualan sampe malam”, bu
susi memulai dialog.
“oh, ’si orang
baru’ itu. Iya, aku dengar dari mas penjual celana renang di blok c itu katanya
dagangnya sampe malam loh. Ngeselin yah ?”, ibu ratna datang menimpali.
“bener-bener itu
orang, nggak tau malu. Udah jelas dikasitau kalau jualan disini itu hanya sampe
jam tiga”, bu teta memberi
komentar.
“kalo begini
terus, aku jadi was-was sama dagangan aku bu. Takut ada yang hilang “.
“aku juga bu.
Udah merasa nda aman simpan dagangan disini”.
Keresahan
ibu-ibu pedagang ini makin menjadi-jadi, takkala ibu susi kehilangan sekarung
pakaian bekas miliknya. Seingatnya, ia menaruhnya digudang kios seperti
hari-hari biasanya. Tapi ketika mentari menampakkan wajahnya dan ibu susi
merapikan dagangannya, ia terkejut ketika sekarung pakaiannya yang diberi kode
‘2’ ini lenyap dari tumpukannya. Seketika, ibu susi teriak memanggil suaminya
dan memberitahu kejadian yang tak disangka-sangka. Ini kali pertama ibu susi
kehilangan barang dagangannya. Sudah sejak zaman orde baru hingga era pak SBY
ia mengais nafkah di pasar ini, tapi baru kali ini terjadi insiden pencurian.
Begitupun pedagang lain, mereka juga sama lamanya berdagang dengan ibu susi dan
fenomena seperti ini langka terjadi.
Kabar
ini dengan cepatnya menyebar kemana-mana dan dimana-mana. Seperti halnya virus h5n1, setiap pedagang di semua blok
telah terjangkiti berita ini kecuali si ‘orang baru’. Bukannya karena si ‘orang
baru’ tak peka pada isu-isu terkini yang menyebar di pasar itu, tetapi para pedagang
memang kompak untuk merahasiakan berita itu kepadanya, karena mereka menaruh
curiga pada ‘si orang baru’.
Tak ada satupun pedagang yang pernah bercengkrama
dengannya, bukan hanya karena letak kiosnya yang berada di ujung blok c saja.
Sifat pendiam dan jarang bersosialisasi dengan pedagang lain membuatnya begitu
misterius.
Perangainya
seperti ibu-ibu lainnya dengan postur gemuk dan pendek. Kulitnya yang sawo
matang dengan wajah bulat tak menunjukkan jika ia memiliki ciri yang
mencurigakan. Ia mulai terkenal ketika seorang penjual bakso memergokinya masih
berjualan ketika jam izin telah lewat. Sejak saat itu, semua pedagang
memanggilnya ‘si orang baru’. Yang mengherankan para pedagang, ia dengan berani
melanggar peraturan berjualan sampai jam tiga sore. Padahal semua pedagang tahu
, betapa ketatnya sang pengelola pasar terhadap aturan yang berlaku. Tak segan
sang pengelola mengusir dengan paksa para pedagang yang bandel.
Sepasang suami-istri penjual mainan pernah menjadi
korban kebringasan sang pengelola. Ketika itu pasangan penjual mainan ini masih
bernegosiasi dengan seorang pelanggan ketika waktu sudah menunjuk lima sore.
Paginya, entah dari mana kabar itu sampai di telinga sang pengelola hingga si
penjual mainan di usir dengan paksa oleh preman-preman suruhan pengelola di
depan sesama pedagang. Semua mata menyaksikan kejadian itu, betapa sang
pengelola tak punya belas kasih apalagi kompensasi.
Mainan
pedagang itu dihambur kemana-mana. Sang istri tak kuasa menahan tangisnya
hingga suasana begitu mengharukan. Si suami berkali-kali memohon maaf dengan
berlutut memegang kaki sang pengelola. Tapi tak ada yang bisa mengubah
pendirian sang pengelola untuk meneruskan niatnya. Tak ada satupun pedagang
yang berani menolong, ada yang tertunduk sedang yang lainnya menatap penuh iba.
“ini menjadi
pelajaran bagi kalian semua. Inilah akibatnya bagi yang tak patuh pada aturan”,
teriak sang pengelola dengan wajah
memerah.
Sejak
saat itu, para pedagang menjadi trauma dan menjadikan kejadian itu sebagai
peringatan. Hingga ‘si orang baru’ datang dan mengulang pelanggaran itu.
Sebagian pedagang sebenarnya merasa kasihan padanya, jikalau ia akan mengalami
nasib yang sama dengan pasangan penjual mainan. Pernah tetangga kiosnya
memperingatkan ‘si orang baru’ untuk tidak mengulangi perbuatannya, tetapi ia
hanya tersenyum tanpa berucap apapun.Yang lainnya merasa ‘si orang baru’ memperoleh
untung yang lebih karena pelanggan yang datang di sore hari cenderung
berbondong ke kiosnya.
Ribut-ribut
terdengar dikios bu susi. Ibu-ibu kembali merapat membahas kemalangan sekarung
pakaian yang raib entah kemana. Calon pembeli dibiarkan memilah-milah pakaian
bekas yang berserakan diatas terpal. Sesekali ada yang bertanya tentang harga
celana jeans.
”bu, ini berapa
?”.
“celana cowok 50
ribu, cewek 40 ribu”.
Para
calon pembeli juga tak menghiraukan kasak-kusuk
ibu-ibu pedagang. Tua, muda sibuk membongkar pakaian bekas yang menggunung,
berharap mendapat pakaian yang pas diantara tumpukan itu. Beberapa pelanggan mengetes celana di ruang terbuka, yang pastinya tanpa
menanggalkan pakaian yang mereka kenakan. Celana training yang bergelantungan juga menjadi incaran.
“ini nda bisa di
biarkan bu susi. Hari ini boleh saja hanya bu susi yang kecurian, besok-besok
siapa lagi yang jadi korban”.
“betul itu bu
ratna. Kita harus segera ambil tindakan. Jangan sampai ada korban selanjutnya”.
Bu susi hanya terdiam mendengar ocehan
teman-temannya. Ia masih menyayangkan pakaian sekarung yang hilang itu.
“bagaimana kalau
kita labrak saja ‘si orang baru’ itu ?”,
usul bu teta.
“jangan bu teta,
kita nda punya hak. Lebih baik kita laporkan ke pengelola biar di usir sekalian
dari sini”.
“ah, aku setuju.
Biar pengelola yang mengurusnya”, Ibu-ibu
itu sepakat jika esok harinya, mereka akan menemui sang pengelola dan
melaporkan pelanggaran ‘si orang baru’ itu.
Paginya mereka sudah berkumpul di rumah sang
pengelola. Awalnya, pengelola keheranan dengan kedatangan mendadak para
pedagang. Belum pernah sebelumnya ada pedagang yang berkunjung dirumahnya,
apalagi di pagi buta seperti ini. Rasa penasaran sang pengelola terjawab
setelah mereka mengutarakan maksud kedatangannya untuk melaporkan perbuatan ‘si
orang baru’ yang sudah meresahkan para pedagang. Mereka berharap pengelola
mengambil tindakan secepatnya.
“ ini bukan
urusan kalian dan kalaupun ada pedagang yang ngeyel, saya pasti tahu. Lebih
baik kalian pulang sana. Berjualan saja dipasar, nda usah urusi yang lain”, tegas sang pengelola.
Bukannya mendapat perhatian, mereka malah kena
semprot dari sang pengelola. Mereka pulang dengan wajah lesu tanpa hasil yang diidamkan dan kembali
berjualan seperti biasa. Kecurigaan mereka kepada ‘si orang baru’ justru makin
menjadi-jadi.
Seminggu
kemudian, bu ratna tak sengaja lewat dan menguping pembicaraan anak buah sang
pengelola yang sedang asyik menyantap bakso mengenai ‘si orang baru’ yang
ternyata diduga memberikan uang sogokan kepada sang pengelola agar bisa
berjualan hingga pukul 6 petang. Cepat-cepat ia menggosipkannya pada ibu-ibu
yang lain dan dalam waktu singkat, berita ini menjadi trending topic diantara para
pedagang. Dikios-kios manapun, semua membicarakannya, kecuali ‘si orang baru’
yang lagi-lagi tak mengetahui.
Setelah
pasar tutup, para pedagang berbondong-bondong menuju arah yang sama, tujuan
yang sama yang tak lain rumah sang pengelola. Sesampainya di depan pagar rumah,
mereka teriak memanggil-manggil sang pengelola yang dibarengi tuntutan bersama.
“kami juga mau
jatah jualan lebih. Kami siap bayar”, sahut-sahutan
para pedagang begitu kompak.
Sang
pengelola muncul dari balik pintu dengan wajah terkantuk-kantuk.
Bisa diatur!!!
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar